Teks Cerita Sejarah Moch Wildanil Amin

Bambu Runcing Sebagai Senjata Melawan Penjajah

Hanya dengan bambu runcing , Indonesia mampu mengusir penjajah! Demikian slogan kemerdekaan yang sering kita dengar.
Adalah Kiai Subchi, seorang ulama yang sangat tawadhu dikalangan masyarakat Parakan Temanggung, Jawa Tengah. Sosok ulama yang satu ini sangat dihormati masyarakat sekitar. Amalan khususnya Shalat lail, Tadarus al Qurán, — dikenal orang tak terpisah dengan kitab al Qurán, dan membaca kitab-kitab. Kiai Subchi tiap hari berkeliling kampung mengajar ngaji dan menjadi penyuluh pertanian. Bila ada satu persoalan, masyarakat sering mendatanginya untuk mencari solusi.
Seperti halnya orang-orang yang bersih kehidupannya, maka Kiai Subchi dianugerahi Allaahu Subhanahu waTaála mata bathin yang sangat peka, sehingga ditahun 1941, dia mengumpulkan para santri dan pemuda desa untuk mengadakan persiapan perang. Padahal pada saat itu situasi masih relative aman. Jepang belum masuk Jawa. Hadir dalam pertemuan tersebut Kiai Noer (Putera Kiai Subchi) dan lurah Masúd (Adik Kiai Subchi). Dalam pertemuan tersebut dibentuk pasukan Hizbullah-Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Subchi sendiri. Pasukan yang baru dibentuk ini mengalami kendala dalam hal persenjataan. Yang ada baru pedang, golok, klewang, keris, tombak dan sebagainya. Namun senjata-senjata ini pun terbatas dimiliki warga. Sebab itu, Kiai Noer mengusulkan agar pasukan yang bari dibentuk ini dipersenjatai dengan cucukan (Bambu yang diruncingkan ujungnya). Dengan alasan bambu mudah diperoleh di mana-mana dan mudah membuatnya. Selain itu, luka yang diakibatkan oleh tusukan cucukan juga lebih parah akibatnya sehingga sulit di obati.
Usul ini akhirnya diterima secara mufakat. Hanya saja, menurut Kiai Subchi masih ada kendala, yakni bagaimana membuat rakyat bersemangat dan yakin jika hanya dengan bersenjatakan cucukan, bisa menghadapi musuh dan meraih kemenangan. Maka tidak ada jalan lain, Kiai Subchi pun mengumpulkan pasukan dengan bersenjatakan cucukan ini dan kemudian dengan penuh keyakinan, Kiai Subchi memanjatkan doá agar Allaah Subhanahu WaTaála memberikan kekuatan istimewa kepada pasukan cucukan ini. Doá itu berbunyi : “Laa Tudrikhuhul Absar Wahuwa Tudhrikuhul Absar Wahuwa Latiful Kabir,” dengan tiga kali membaca sembari menahan nafas. Disebabkan charisma yang dimiliki Kiai Subchi, para pemuda dengan senjata cucukan ini akhirnya bersemangat dan yakin jika senjata baru ini memiliki keistimewaan yang dahsyat. Hal ini akhirnya menjadi satu “ritual” yang tidak dilewatkan, setiap ada pasukan baru dengan senjata cucukan, mereka pasti mendatangi Kiai Subchi untuk meminta doánya.
Setahun setelah firasat Kiai Subchi, Jepang pun datang dan pecah perang besar antara Belanda melawan Jepang. Pasukan Jepang pernah ingin menguasai Parakan, namun dihadang oleh Pasukan Bambu Runcing Kiai Subchi. Dan akhirnya Jepang pun mengurungkan niatnya ke Parakan dan meneruskan geraknya ke Wonosobo. Kabar keberhasilan pasukan cucukan Kiai Subchi menghalau pasukan Jepang ini menjadi buah bibir pasukan lainnya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Magelang masih diduduki Jepang. Pasukan Hizbullah dari daerah Parakan dan daerah Kedu bersatu untuk mengusir Jepang dari Magelang. Dalam pertempuran tersebut  Jepang terlihat sangat ketakutan menghadapi pasukan cucukan yang di pimpin Kiai Subchi. Hal ini menaikan pamor senjata cucukan atau Bambu Runcing.
Sejak itulah, seiring naiknya pamor cucukan, maka sosok Kiai Subchi pun menjadi terkenal. Apalagi pasukannya juga berhasil memukul mundur pasukan Gurkha dari Magelang hingga ke Semarang. Para pejuang kemerdekaan pun berduyun-duyun datang ke Parakan, lengkap dengan bamboo runcingnya, untuk menemui Kiai Subchi dan meminta doá nya. Para pejuang itu datang dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai kawasan Banyuwangi, dengan naik kereta api yang penuh sesak dengan bamboo runcing. Sejak saat itu bambu runcing telah menjadi senjata Jihad Fii Sabilillah yang terkenal keampuhannya. Bambu Runcing  yang dipakai Kiai Subchi sendiri menjadi legenda. Bahkan di minta oleh Museum ABRI untuk dijadikan koleksi bersejarahnya. Putera Kiai Subchi, Kiai Haji Noer mengatakan, “Nama semula bukan bambu runcing, tapi cucukan. Sedang nama bambu runcing ini baru-baru saja.”


Komentar

Posting Komentar